22 Des 2010

Pandangan Allah atau Pandangan Manusia yang Lebih Berharga?

Pandangan Allah atau Pandangan Manusia yang Lebih Berharga?


 

Oleh: Dian Kencana

 

 

Bismillah...


Pandangan Allah atau pandangan manusia yang lebih berharga? Sengaja penulis memberikan judul dengan nada demikian dan tentunya bagi para pembaca uang budiman, pasti akan sepakat menjawab: pandangan Allah-lah yang paling berharga. Tapi apakah jawab yang demikian itu sejalan dengan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari pembaca sekalian? Wallahu ’alam...
Pandangan Allah. Apa yang menjadi tolak ukurnya? Lalu bagaimana juga dengan pandangan/penilaian manusia, apa yang jadi barometernya? (Tolong dua opsi ini antum-antum renungkan betul dengan hati tersuci dan jawab dengan jujur).

Sebelum penulis mengajak para pembaca untuk melangkah menelusuri cara pandang manusia dalam prespektif Islam, terlebih dahulu penulis ingin mengajak pembaca sekalian untuk mengitari wilayah penilaian manusia terhadap manusia itu sendiri.


Manusia dalam pandangan manusia

Manusia dalam pandangan/penilaian manusia, menurut pendapat penulis dari hasil pengamatan aktifitas sosial selama ini juga dari pengalaman, mempunyai sifat relatif. Kenapa bisa demikian? Karena penilaian itu disesuaikan dengan kondisi kultur tiap manusia yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Adab-adab tiap daerah, terlebih dalam sekup terkecil yakni keluarga, pastilah berbeda-beda. Apalagi ketika kita hidup dan berinteraksi dengan banyak orang, tentu akan lebih mudah bagi kita untuk membandingkan perilaku satu orang dengan orang yang lainnya.

Adab-adab berbicara saja contohnya. Ada orang-orang yang terbiasa berbicara dengan suara keras dan cenderung punya logat kasar juga ada pula orang-orang yang terdidik dalam lingkungan yang menuntut mereka untuk berbicara dengan suara lembut dengan logat santun. Bagi sesama yang punya kultur bicara yang sama, tentu tidak masalah. Tapi bagaimana dengan orang lain yang berlainan kultur? Silahkan para pembaca menyimpulkan sendiri.

Ada banyak perbedaan yang mendasari penilaian manusia terhadap manusia itu sendiri karena itulah sifatnya relatif.

Orang yang dalam kesehariannya terkenal baik, suka menolong orang lain yang kesulitan, santun dan ramah terhadap orang lain yang dikenal maupun yang tidak, dermawan, pokoknya tidak suka neko-neko... Meskipun dia berpacaran, hubungan dengan yang bukan mahramnya seolah tidak ada batasan, tidak menjaga/menutupi auratnya dengan benar... Pasti akan dinilai cukup baik dan sudah termasuk pada golongan orang-orang selamat yang patut mencicipi syurga. Itu tadi penilaian manusia pada umumnya dari apa yang penulis amati selama ini.

Tapi apa benar demikian? Tentu syurga akan penuh kalau penghuninya begitu mudah dicari. ^_^


Manusia dalam pandangan Allah (Islam)

Sekarang kita beralih pada yang lain –untuk mengetahui suatu perkara itu haq atau bathil, benar atau salah, tentunya harus ada pembandingnya bukan?

Manusia dalam pandangan Allah. Berarti kalau tolak ukurnya hanya satu, dia punya sifat mutlak. Allah... Tentu sebagai manusia yang mengaku ummat Muhammad, Dzat yang disembah pastilah hanya Allah.

Dapat kita ketahui dari buku-buku sejarah, zaman sebelum Islam ada dan berkembang seperti dewasa ini, kehidupan manusianya –seberadab apa pun- akan dinilai sebagai zaman Jahiliyyah, zaman kebodohan. Kenapa bisa dikatakan demikan, padahal peradaban pada masa itu di Jazirah Arab sedemikian maju jika dibandingkan dengan wilayah yang lain? Tentu tidak lain dan tidak bukan karena manusia pada zaman Jahiliyyah bertindak berdasarkan hawa nafsunya. Ada banyak bukti sejarah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa demikian, pun di dalam Al Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menerangkan (tradisi minum khamr, berjudi, mengundi nasib dengan anak panah, mengubur hidup-hidup bayi perempuan, pernikahan yang ”tidak jelas”, dll. Dan setelah Islam datang, tradisi itu semua dihapuskan karena tidak sesuai dengan fitrah manusia).

Kenapa ketika manusia memilih untuk memperturut hawa nafsunya, dia cenderung bersikap jahil? Karena nafsu itu dikendalikan oleh syaithan yang sudah dilaknat Allah dari awal kejadian manusia, pun ketika manusia lebih mengutamakan nafsunya daripada akal-nuraninya, dia cenderung punya kedudukan sejajar dengan hewan ternak, bahkan lebih hina lagi. Na ’udzubillahi mindzalik!

”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqan: 43-44)

”Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena ia nanti akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Padahal) sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah itu bakal memperoleh adzab yang teramat pedih, akibat mereka lupa terhadap hari Perhitungan.” (QS. Shaad: 26)

Karena itulah manusia harus benar-benar berhati-hati dalam setiap perbuatannya. Menilik pula kembali niatan, kenapa kita melakukan suatu perkara. Apakah kita melakukan demikian karena tuntutan ketakwaan atau malah karena bimbingan syaithan?


Lalu bagaimana dengan agar kita tidak menjadi manusia dengan perilaku jahil dan mendapatkan penilaian baik menurut pandangan Allah?

Allah... Dalam menciptakan semesta beserta kehidupannya, tentulah tidak asal tanpa perhitungan. Allah... Di samping membekali manusia dengan akal-nurani dan nafsu, juga memberikan hal lain yang juga berharga, yakni sebuah pedoman hidup.

Manusia, jika mereka hanya menggunakan akal dan nafsunya saja, nilai mereka sama saja dengan manusia lain. Walau pun ada di antara mereka orang yang punya prestasi lebih baik dibanding yang lain. Namun ketika ada segolongan manusia yang memilih untuk mempelajari pedoman yang sudah diberikan oleh Penciptanya dengan penuh kesadaran, juga berupaya untuk mengamalkan dan mengajarkannya pada manusia lain, nilai mereka lebih tinggi dibandingkan dengan manusia lain, meskipun mereka adalah seorang yang fakir, buruk rupa, cacat, dan jenis-jenis kekurangan manusia yang lainnya.

Mengkajinya saja tanpa mengamalkan tidaklah cukup. Rangkaian tersebut mempunyai sifat komulatif dan bukan alternatif, maksudnya adalah ketiga aktifitas tersebut haruslah dilakukan semuanya –sesuai dengan hierarkienya- dan bukan hanya salah satu. Sulit memang tapi itulah yang berharga di hadapan Allah. Wallahu a’lam...

Lalu apa pedoman itu? Pedoman dari Allah itu biasa kita kenal dengan nama Al Qur’an. Tapi Al Qur’an pun tidak asal dan langsung diturunkan pada manusia. Allah juga memperlihatkan terlebih dahulu, bagaimana cara pemakaiannya, yakni lewat Rasulullah Muhammad, uswatul hasanah ummat manusia.
Pernah membaca perkataan ’Aisyah tentang akhlaq Rasulullah?

”Akhlaq Rasulullah adalah akhlaq Al Qur’an.”

Itu menandakan kalau semua hal yang terdapat dalam keseharian beliau –yang nantinya kita kenal dengan sebutan Sunnah Rasulullah- sesuai dengan Al Qur’an, sampai-sampai beliau mendapat julukan sebagai Al Qur’an berjalan! Dan hal yang demikianlah yang sanggup mengangkat derajat beliau menjadi lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan manusia lain.

Pun juga demikian dengan kedudukan para shahabat-shahabiyah di zaman beliau yang mengkaji, mengamalkan, dan mengajarkan Al Qur’an –dan Sunnah Rasulullah- mereka punya kedudukan yang berbeda dengan yang lain. Dan apakah kita bisa punya kedudukan yang berbeda dengan manusia pada umumnya? Itu tergantung dari apa yang kita pilih dan jalani. ^_^

Jadi seperti itulah gambaran sedikit tentang penilaian manusia terhadap manusia juga penilaian manusia di hadapan Allah. Akan sangat membahagiakan, kalau sekiranya para pembaca sekalian lebih memilih untuk menjadi insan yang mengutamakan penilaian Allah daripada penilaian manusia.

Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini, penulis ingin sekali membagikan ilmu yang penulis dapat ketika mengikuti salah satu matakuliah di kampus perjuangan.

Mengadopsi dari pemikiran seorang dosen, beliau mengatakan kalau kebebasan berpikir manusia itu baru bisa dilakukan kalau manusia itu sudah mempelajari dan mengetahui mana perkara haq dan mana perkara bathil (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang shahih). Baru setelah mengetahui semuanya, manusia tersebut diberi kebebasan untuk memilih, apakah akan menjadi individu yang berjalan searah dengan apa yang dia pelajari atau malah memilih untuk berjalan menyimpang darinya. Inilah konsep kebebasan berpikir yang menurut penulis dapat diterima akal. ^_^

Mungkin sampai di sini saja tulisan dari penulis. Mohon maaf untuk segala kekurangan dan kalau sekiranya ada pihak-pihak yang merasa terlukai perasaannya. Tulisan ini dibuat bukan untuk menggurui, melainkan hanya sebagai salah satu sarana yang penulis pilih untuk melakukan syi’ar Islam.

Alhamdulillah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkunjung DI BLOG TAKMIR MASJID AL-AZHAR Fakultas Hukum UII

@Way2themes

Follow Me