24 Des 2010

INNER BEAUTY MUSLIMAH SEJATI

INNER BEAUTY MUSLIMAH SEJATI


Setiap muslimah senantiasa mendambakan kecantikan fisik. Tetapi ingat, kecantikan dari dalam (inner beauty) adalah hal yang lebih penting daripada kecantikan fisik belaka. Karena apa gunanya seorang muslimah cantik fisik tetapi dibenci orang orang-orang sekitar karena tindak-tanduknya yang tidak baik. Karena itu, kecantikan dari dalam memang lebih diutamakan untuk menjaga citra diri seorang muslimah. 

Menjaga kecantikan dari dalam berarti menjaga etika dan budi pekerti baik serta menggunakan anggota tubuh untuk hal-hal yang baik berdasarkan sudut pandang syari’at Islam. Sebagai contoh, bibir yang indah tak hanya indah menarik secara fisik tapi juga meniscayakan penuturan kata-kata baik san ucapan santun. Tutur kata santun dan ucapan yang baik memberi kesan mendalam bagi orang lain.

Allah pun dengan tegas menyatakan bahwa antara ciri hambaNya yang baik adalah mereka yang baik ucapannya. Mereka yang apabila dihina atau dicadi maki oleh orang yang jahil (tidak berilmu), mereka tidak membalasnya, kecuali dengan kata-kata baik dan lemah-lembut. Dia berfirman, “Dan hamba-hamba Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan: 63).

Tak hanya itu, seorang muslimah yang baik akan meninggalkan perkataan-perkataan tidak bermanfaat. Rasulullah bersabda, “Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya.” Mengenai hadits ini, Imam Ibnu Rajab Al Hambali, mengatakan, “Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna.”

Dalam Ad-Daa’, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menerangkan lebih lanjut, “Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Apabila dia berkata hendaklah berkata yang diharapkan berkata yang diharapkan terdapat kebaikan padanya dan manfaat bagi agamanya. Apabila dia alam berbicara, hendaklah dia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan dikeluarkan terdapat kemanfaatan dan kebaikan atau tidak. Apabila tidak bermanfaat, hendaknya dia diam dan apabila dia pikirkan lagi, adakah kata-kata lain yang lebih bermanfaat atau tidak. Supaya dia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang pertama (tidak bermanfaat) itu.”

Termasuk dalam hal ini adalah menjauhi perbuatan ghibah yang berkaitan dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara. Maka hendaknya para muslimah memperhatikan apa-apa yang diucapkan. Jangan sampai terjatuh dalam perbuatan ghibah yang tercela. Bila setiap wanita muslim bisa menjaga lisan dari mengganggu atau menyakiti orang lain, insyaAllah mereka akan menjadi muslimah sejati. Rasulullah bersabda, ”seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim).

Pun demikian dengan anggota tubuh lainnya, seperti mata. Untuk menjadikan sepasang mata yang indah dan mempesona, maka pandanglah kebaikan-kebaikan orang-orang, jangan mencari keburukan mereka. Allah berfirman mengenai hal ini, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangkan itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al Hujurat: 12).

Rasulullah pun mewanti-wanti, ”Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hati, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kaliman mencari-cari aibnya. Barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari aibnya. Barangsiapa yang Allah mencari aibnya, niscaya Allah akan menyingkapkannya walaupun di dalam rumahnya.” (HR. At Tirmidzi).

Dan terpenting lain, mempergunakan mata untuk hal-hal yang diridhai Allah dan Rasulullah. Hal ini berarti tidak menggunakan mata untuk bermaksiat. Pandangan mata adalah mata air kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Betapa banyak manusia mulia yang didera nestapa dan kehinaan, hanya karena mereka tidak dapat mengendalikan mata. Yaitu ketika matanya tidak dapat lagi menyebabkan seseorang menjadi bersyukur atas anugerah nikmat karena dipergunakan secara zhalim. Seseorang muslimah yang menjaga pandangan berarti dia menjaga harga diri dan kemaluannya. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka akan terjerumus ke dalam kebinasaan. Inilah mengapa Rasulullah menegaskan, ”Tundukkan pandangan kalian dan jagalah kemaluan kalian.”

Lalu peliharalah telinga dari mendengarkan bid’ah, gosip, kata-kata keji, dan sesat, atau menyebutkan kesalahan-kesalahan orang lain. Telinga diciptakan untuk mendengarkan Kalam Allah dan instruksi-instruksi Rasulullah. Sepasang telinga yang indah dan baik, adalah yang bisa mengambil manfaat ilmu-ilmu keIslaman.

Lalu tangan yang baik adalah tangan yang diulurkan untuk membantu dan menolong sesama muslim, serta bersedekah dan berzakat. Kita diberi dua tangan, satu untuk membantu kita dan satu lagi untuk membantu orang lain. Lalu Islam juga mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Tentang hal ini, suatu ketika Rasulullah ditanya oleh para istrinya, ”Siapakah di antara kami yang pertama kali akan menemui engkau kelak?”. Dengan suara yang bergetar, Nabi menjawab, ”Tangan siapa di antara kalian yang paling panjang, itulah yang lebih dahulu menemuiku.” ’Tangan yang panjang’ yang dimaksud Rasulullah adalah yang gemar memberi sedekah kepada fakir miskin.

Maka jaga baik-baik kedua tangan, jangan dipergunakan untuk memukul seorang muslim, dipakai untuk mengambil barang haram atau pun mencuri, jangan dipergunakan untuk menyakiti makhluk ciptaan Allah, atau dipergunakan untuk mengkhianati titipan atau amanah. Atau untuk menulis kata-kata yang tidak diperbolehkan.

Kemudian kedua kaki yang ’indah’ adalah yang dipergunakan untuk mendatangkan keridhaan Allah. Jagalah kedua kaki untuk tidak berjalan menuju tempat-tempat yang diharamkan atau pergi ke pintu penguasa yang kafir. Karena hal itu adalah kemaksiatan yang besar dan sama saja dengan merendahkan diri kalian. Lalu jangan sekali-kali mempergunakan kaki untuk menyakiti saudara-saudari muslim, pergunakanlah untuk berbakti kepada Allah. Misalnya dengan mendatangi masjid, tempat-tempat pengajian, berjalan untuk menuntut ilmu agama, serta menyambung tali silaturahim atau melangkahkannya untuk berjihad di jalanNya.

Rasul bersabda, ”Barangsiapa yang kedua telapak kakinya berdebu di jalan Allah, maka haram atas keduanya tersentuh api neraka.” Beliau menerangkan lagi, ”Allah akan menjamin orang yang keluar (berjuang) di jalanNya, seraya berfirman, ”Sesungguhnya orang yang berangkat keluar untuk berjihad di jalanKu karena keimanan kepadaKu dan membenarkan (segala ajaran) para RasulKu, maka ketahuilah bahwa Akulah yang akan menjaminnya untuk masuk ke dalam syurga.”


Demikian pula dengan segenap anggota tubuh lainnya. Semuanya akan nampak indah serta mempesona apabila dipergunakan dalam rel ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Kecantikan fisik seorang muslimah bahkan sangat mempengaruhi kecantikan batin. Untuk mendapatkan tubuh yang ramping, maka cobalah untuk berbagi makanan dengan orang-orang fakir-miskin.

Kecantikan sejati seorang muslimah tidak terletak pada keelokan dan keindahan fisik atau keglamoran pakaiannya. Kecantikannya sangat dipengaruhi perilaku dan ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah. Kecantikan sebenarnya derefleksikan dalam jiwa.

Maka jadikan malu karena Allah sebagai perona pipinya. Penghias rambutnya adalah kerudung yang terulur sampai dadanya. Dzikir yang senantiasa membasahi bibirnya adalah lipsticknya. Kacamatanya adalah penglihatan yang terhindar dari maksiat. Air wudlu adalah bedaknya untuk cahaya di akhirat. Kaki indahnya selalu menghadiri majelis ilmu. Tangannya selalu berbuat baik kepada sesama. Pendengaran yang ma’ruf adalah anting muslimah. Gelangnya adalah tawadhu. Kalungnya adalah kesucian.

Sumber:http://www.voa-islam.com/teenage/wanna-be-muslimah/2010/05/18/6129/inner-beauty-muslimah-sejati/

22 Des 2010

Pandangan Allah atau Pandangan Manusia yang Lebih Berharga?

Pandangan Allah atau Pandangan Manusia yang Lebih Berharga?


 

Oleh: Dian Kencana

 

 

Bismillah...


Pandangan Allah atau pandangan manusia yang lebih berharga? Sengaja penulis memberikan judul dengan nada demikian dan tentunya bagi para pembaca uang budiman, pasti akan sepakat menjawab: pandangan Allah-lah yang paling berharga. Tapi apakah jawab yang demikian itu sejalan dengan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari pembaca sekalian? Wallahu ’alam...
Pandangan Allah. Apa yang menjadi tolak ukurnya? Lalu bagaimana juga dengan pandangan/penilaian manusia, apa yang jadi barometernya? (Tolong dua opsi ini antum-antum renungkan betul dengan hati tersuci dan jawab dengan jujur).

Sebelum penulis mengajak para pembaca untuk melangkah menelusuri cara pandang manusia dalam prespektif Islam, terlebih dahulu penulis ingin mengajak pembaca sekalian untuk mengitari wilayah penilaian manusia terhadap manusia itu sendiri.


Manusia dalam pandangan manusia

Manusia dalam pandangan/penilaian manusia, menurut pendapat penulis dari hasil pengamatan aktifitas sosial selama ini juga dari pengalaman, mempunyai sifat relatif. Kenapa bisa demikian? Karena penilaian itu disesuaikan dengan kondisi kultur tiap manusia yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Adab-adab tiap daerah, terlebih dalam sekup terkecil yakni keluarga, pastilah berbeda-beda. Apalagi ketika kita hidup dan berinteraksi dengan banyak orang, tentu akan lebih mudah bagi kita untuk membandingkan perilaku satu orang dengan orang yang lainnya.

Adab-adab berbicara saja contohnya. Ada orang-orang yang terbiasa berbicara dengan suara keras dan cenderung punya logat kasar juga ada pula orang-orang yang terdidik dalam lingkungan yang menuntut mereka untuk berbicara dengan suara lembut dengan logat santun. Bagi sesama yang punya kultur bicara yang sama, tentu tidak masalah. Tapi bagaimana dengan orang lain yang berlainan kultur? Silahkan para pembaca menyimpulkan sendiri.

Ada banyak perbedaan yang mendasari penilaian manusia terhadap manusia itu sendiri karena itulah sifatnya relatif.

Orang yang dalam kesehariannya terkenal baik, suka menolong orang lain yang kesulitan, santun dan ramah terhadap orang lain yang dikenal maupun yang tidak, dermawan, pokoknya tidak suka neko-neko... Meskipun dia berpacaran, hubungan dengan yang bukan mahramnya seolah tidak ada batasan, tidak menjaga/menutupi auratnya dengan benar... Pasti akan dinilai cukup baik dan sudah termasuk pada golongan orang-orang selamat yang patut mencicipi syurga. Itu tadi penilaian manusia pada umumnya dari apa yang penulis amati selama ini.

Tapi apa benar demikian? Tentu syurga akan penuh kalau penghuninya begitu mudah dicari. ^_^


Manusia dalam pandangan Allah (Islam)

Sekarang kita beralih pada yang lain –untuk mengetahui suatu perkara itu haq atau bathil, benar atau salah, tentunya harus ada pembandingnya bukan?

Manusia dalam pandangan Allah. Berarti kalau tolak ukurnya hanya satu, dia punya sifat mutlak. Allah... Tentu sebagai manusia yang mengaku ummat Muhammad, Dzat yang disembah pastilah hanya Allah.

Dapat kita ketahui dari buku-buku sejarah, zaman sebelum Islam ada dan berkembang seperti dewasa ini, kehidupan manusianya –seberadab apa pun- akan dinilai sebagai zaman Jahiliyyah, zaman kebodohan. Kenapa bisa dikatakan demikan, padahal peradaban pada masa itu di Jazirah Arab sedemikian maju jika dibandingkan dengan wilayah yang lain? Tentu tidak lain dan tidak bukan karena manusia pada zaman Jahiliyyah bertindak berdasarkan hawa nafsunya. Ada banyak bukti sejarah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa demikian, pun di dalam Al Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menerangkan (tradisi minum khamr, berjudi, mengundi nasib dengan anak panah, mengubur hidup-hidup bayi perempuan, pernikahan yang ”tidak jelas”, dll. Dan setelah Islam datang, tradisi itu semua dihapuskan karena tidak sesuai dengan fitrah manusia).

Kenapa ketika manusia memilih untuk memperturut hawa nafsunya, dia cenderung bersikap jahil? Karena nafsu itu dikendalikan oleh syaithan yang sudah dilaknat Allah dari awal kejadian manusia, pun ketika manusia lebih mengutamakan nafsunya daripada akal-nuraninya, dia cenderung punya kedudukan sejajar dengan hewan ternak, bahkan lebih hina lagi. Na ’udzubillahi mindzalik!

”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqan: 43-44)

”Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena ia nanti akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Padahal) sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah itu bakal memperoleh adzab yang teramat pedih, akibat mereka lupa terhadap hari Perhitungan.” (QS. Shaad: 26)

Karena itulah manusia harus benar-benar berhati-hati dalam setiap perbuatannya. Menilik pula kembali niatan, kenapa kita melakukan suatu perkara. Apakah kita melakukan demikian karena tuntutan ketakwaan atau malah karena bimbingan syaithan?


Lalu bagaimana dengan agar kita tidak menjadi manusia dengan perilaku jahil dan mendapatkan penilaian baik menurut pandangan Allah?

Allah... Dalam menciptakan semesta beserta kehidupannya, tentulah tidak asal tanpa perhitungan. Allah... Di samping membekali manusia dengan akal-nurani dan nafsu, juga memberikan hal lain yang juga berharga, yakni sebuah pedoman hidup.

Manusia, jika mereka hanya menggunakan akal dan nafsunya saja, nilai mereka sama saja dengan manusia lain. Walau pun ada di antara mereka orang yang punya prestasi lebih baik dibanding yang lain. Namun ketika ada segolongan manusia yang memilih untuk mempelajari pedoman yang sudah diberikan oleh Penciptanya dengan penuh kesadaran, juga berupaya untuk mengamalkan dan mengajarkannya pada manusia lain, nilai mereka lebih tinggi dibandingkan dengan manusia lain, meskipun mereka adalah seorang yang fakir, buruk rupa, cacat, dan jenis-jenis kekurangan manusia yang lainnya.

Mengkajinya saja tanpa mengamalkan tidaklah cukup. Rangkaian tersebut mempunyai sifat komulatif dan bukan alternatif, maksudnya adalah ketiga aktifitas tersebut haruslah dilakukan semuanya –sesuai dengan hierarkienya- dan bukan hanya salah satu. Sulit memang tapi itulah yang berharga di hadapan Allah. Wallahu a’lam...

Lalu apa pedoman itu? Pedoman dari Allah itu biasa kita kenal dengan nama Al Qur’an. Tapi Al Qur’an pun tidak asal dan langsung diturunkan pada manusia. Allah juga memperlihatkan terlebih dahulu, bagaimana cara pemakaiannya, yakni lewat Rasulullah Muhammad, uswatul hasanah ummat manusia.
Pernah membaca perkataan ’Aisyah tentang akhlaq Rasulullah?

”Akhlaq Rasulullah adalah akhlaq Al Qur’an.”

Itu menandakan kalau semua hal yang terdapat dalam keseharian beliau –yang nantinya kita kenal dengan sebutan Sunnah Rasulullah- sesuai dengan Al Qur’an, sampai-sampai beliau mendapat julukan sebagai Al Qur’an berjalan! Dan hal yang demikianlah yang sanggup mengangkat derajat beliau menjadi lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan manusia lain.

Pun juga demikian dengan kedudukan para shahabat-shahabiyah di zaman beliau yang mengkaji, mengamalkan, dan mengajarkan Al Qur’an –dan Sunnah Rasulullah- mereka punya kedudukan yang berbeda dengan yang lain. Dan apakah kita bisa punya kedudukan yang berbeda dengan manusia pada umumnya? Itu tergantung dari apa yang kita pilih dan jalani. ^_^

Jadi seperti itulah gambaran sedikit tentang penilaian manusia terhadap manusia juga penilaian manusia di hadapan Allah. Akan sangat membahagiakan, kalau sekiranya para pembaca sekalian lebih memilih untuk menjadi insan yang mengutamakan penilaian Allah daripada penilaian manusia.

Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini, penulis ingin sekali membagikan ilmu yang penulis dapat ketika mengikuti salah satu matakuliah di kampus perjuangan.

Mengadopsi dari pemikiran seorang dosen, beliau mengatakan kalau kebebasan berpikir manusia itu baru bisa dilakukan kalau manusia itu sudah mempelajari dan mengetahui mana perkara haq dan mana perkara bathil (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang shahih). Baru setelah mengetahui semuanya, manusia tersebut diberi kebebasan untuk memilih, apakah akan menjadi individu yang berjalan searah dengan apa yang dia pelajari atau malah memilih untuk berjalan menyimpang darinya. Inilah konsep kebebasan berpikir yang menurut penulis dapat diterima akal. ^_^

Mungkin sampai di sini saja tulisan dari penulis. Mohon maaf untuk segala kekurangan dan kalau sekiranya ada pihak-pihak yang merasa terlukai perasaannya. Tulisan ini dibuat bukan untuk menggurui, melainkan hanya sebagai salah satu sarana yang penulis pilih untuk melakukan syi’ar Islam.

Alhamdulillah...

Tahukah Anda Amalan Apa yang Bisa Mengantar Menuju Syurga?

Tahukah Anda Amalan Apa yang Bisa Mengantar Menuju Syurga?

 

Oleh: Dian Kencana

Bismillah…

Teringat dengan percakapanku dengan beberapa teman di dalam sebuah forum diskusi tapi santai beberapa waktu yang lalu. Di sana, dengan begitu terbatanya mulutku menjelaskan jawaban berdasar apa yang aku pahami mengenai cara-cara yang bisa ditempuh oleh seorang muslim menuju syurga. Namun sayang, akalku tak bisa berfungsi dengan maximal karena dilanda virus grogi. T.T

Keesokan harinya, ketika aku berada di dalam “sarangku” sendirian, pertanyaan dari temanku itu pun kembali terulang dalam rekamanan memoriku. Lalu mencoba kembali menjawab pertanyaan itu untuk diriku sendiri dan akhirnya cukup membuatku puas dengan jawabanku itu (sempet juga mikir, kenapa aku nggak bisa lancar ngomongnya kemarin pas sama mereka? Nyesel dah!).

Kembali ku ulangi pertanyaan itu dan sejenak aku berpikir. Amalan apa saja yang bisa mengantarkan seorang muslim menuju syurga Allah.

Dari apa yang aku pahami selama ini dari ilmu yang sudah aku dapat (mohon maaf kalo nanti ternyata ada yang kurang dan/atau salah), amalan pertama yang bisa membuat seorang manusia masuk syurga adalah kalimat syahadat. Baru setelah dia melafalkan kalimat syahadat itu dengan niatan ingin menjadi seorang muslim, maka empat rukun Islam setelah syahadat mengantrie untuk dikerjakan olehnya (sesuai dengan sebuah hadits yang aku sendiri lupa bagaimana lafalnya. Maaf ya?).

Lalu apa itu saja cukup? Awalnya aku berpikir itu cukup (karena pas di forum aku cuman bisa ngasih penjelasan itu doing, saking deg-degannya diriku. Ckckck…). Tapi setelah aku “menyantaikan” pikiranku, kembali berpikir… aku mendapat penjelasan lain.

Aku menyakini, kalau tiap muslim itu bisa menempati posisi apa saja (secara umum dan bukan untuk posisi yang menuntut keahlian). Maksudnya adalah ketika dia menjadi berposisi menjadi seorang muslim, maka dia “cukup” mengamalkan lima rukun Islam itu saja (tapi dengan catatan tidak asal menjalankan. Namun juga memahami apa hakekat yang terkandung dari adanya printah-perintah yang demikian lalu juga menjalankannya dengan continue). Itu tadi urusan pertama atau gerbang awal baginya.

Selain itu, dia juga bisa menempati posisi sebagai anak bagi orangtuanya. Dengan dia berbakti pada ibu-bapaknya semata-mata karena mengharap kasih sayang Allah juga cintanya pada kedua orangtuanya, maka itu pun sudah “cukup” mengantarkannya ke depan pintu syurga.

Terus… posisi menjadi seorang manusia yang hidup bermasyarakat. Dengan dia melakukan perniagaan dengan penuh kejujuran, lalu ramah pada orang lain –menebarkan salam, bertukar senyum, saling mengunjungi, , dll-, melakukan syi’ar Islam –menyeru pada yang makruf dan mencegah dari yang munkar-, menyantuni fakir, miskin, dan anak-anak yatim (piatu), dan juga amalan-amalan lain dalam kehidupan social, aku pikir itu sudah “cukup” baginya untuk sampai di syurga.

Hmm… terus lagi (sesekali belok, biar nggak nabrak boleh dong. Hehehe… ^^v), bagi yang sudah menikah dan menjadi seorang istri. Maka dengan dia senantiasa berbuat taat pada suaminya –selama bukan dalam rangka bermaksiat pada Allah-, lalu menjaga diri dan harta suaminya ketika sang suami tidak ada di rumah, (apa lagi, ya?) melayani suaminya dengan hati ikhlas karena Allah (dll)... itu juga sudah ”cukup” untuk mengantarkan si istri masuk ke syurga lewat pintu mana saja yang dia kehendaki.

Terus buat yang suami? Waaah... maaf ya, saudara-saudaraku. Berhubung aku bukan laki-laki, jadi aku tidak begitu paham hal apa saja yang bisa membuat seorang suami melenggang menuju syurga Allah. Yang aku tau sih, cuman ketika dia memberi nafkah pada istrinya dengan uang halal thayban (dapet istilahnya dari kuliah kemarin. ^^v) dan ikhlas... itu udah kecatet jadi amalan perbuatan yang baik, insya Allah... Yang lain? Maaf, untuk saat ini aku belum tahu.

Apa lagi ya??? Jadi orangtua... mendidik anak-anaknya dengan Islam, bersabar dengan kesulitan yang dialami ketika membesarkan anak-anaknya (duuuh... jadi ingat ibuku di rumah. Hiks... hiks... nyadar diri, betapa susahnya diriku ini diatur. -_~), memelihara dan mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya hingga mereka dewasa (lho? Kenapa hukum perdata jadi dibawa-bawa?). hmm... kayaknya cuman itu deh, yang saat ini aku tahu.

Waaah... udah mentok jawabanku ternyata! Berarti udah sampai diri aja penjelasanku yang cuman bisa aku batin (soalnya temenku itu nggak aku add jafi temen di FB. Sengaja!).

Untuk kurang-lebihnya, mohon maaf. Yang nulis ini masih perlu banyak sekali belajar Islam lebih dalam lagi. Jadi mohon doanya, ya? Moga ilmuku barakah dan bisa nganterin aku masuk syurganya Allah... gabung sama Rasulullah dan para shahabat-shahabiyah. Allahumma amin...

Alhamdulillah…


21 Des 2010

SEMARAKNYA PERAYAAN HARI IBU BERSAMA FORSA AL-AZHAR FH UII: Tebar satu bingkisan untuk catu cinta




Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA dikisahkan bahwa suatu ketika datanglah seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menjawab, ‘Ibumu!’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kembali menjawab, ‘Ibumu!’, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, baru kemudian ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bapakmu’ [Hadits Riwayat Bukhari]


Ibu…senandung laguku..
Kunyanyikan selalu untukmu

Ibu…engkaulah harapanku
tanpamu tiadalah aku
Ku selalu kumohon doamu
Surga ditelapak kakimu
Ridho Allah dengan ridhomu
Begitulah sabda nabiku

Tanpamu tiadalah aku
Ibu…pengorbananmu
untuk kedewasaanku hanya bisa
ditanggung oleh hatimu
Namun kupercaya
takkan terlerai kasih ikatan ini takkan putus
aku hanya menduga
tidak mampu merasa
Sebenar-benar perasaanmu

Ibu…
Aku manusia yang tak sempurna, yang selalu berdosa
dan membuatmu terbeban olehku
Hingga kadang ibu menangis
dan jarang tersenyum karena ulahku
Maafkanlah aku ibu..
aku sangat menyayangimu.


Present by: Forsa Al-Azhar FH UII

2 Des 2010

JAGALAH MAHKOTAMU




JAGALAH MAHKOTAMU



Adikku…
Engkau adalah pengejawantahan Tuhan dimuka bumi ini
Indah dirimu menunjukkan kesempurnaan Sang Pencipta
Jagalah mahkotamu, jangan biarkan ia ternoda
lindungilah wajahmu dari tatapan nafsu angkara


Angkatlah kerudungmu, sandarkan, dan
tutupilah lubang-lubang celah rambutmu
rambut terurai tak seindah akhlakmu yang luhur
relakah engkau kalau mereka harus berdosa?


Jagalah mahkotamu wahai adikku
Kasihanilah dirimu yang jauh dirantau
jika harus menjadi pemain tanpa peran,
tiada alur cerita yang berkesudahan


Indah dirimu tiadalah berkekalan
Akhlak luhurmu tiada lupa dari ingatan
maka jagalah mahkotamu wahai adikku
dalam dekapan kasihmu
dalam kerinduan yang selalu menanti

PROFIL TAKMIR MASJID AL-AZHAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Takmir Masjid Al-Azhar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (TMA FH UII) adalah organisasi masjid kampus yang bergerak di bidang dakwah. Sekretariat TMA FH UII terletak di lingkungan kampus FH UII, Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta. Tepatnya berada di sebelah utara Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT) Laboratorium FH UII.
TMA FH UII berasaskan Islam dan bersifat semi otonom. Adapun pengertian dari semi otonom di sini ialah bahwa secara struktural, TMA FH UII berada di bawah dekanat FH UII, sedangkan secara fungsional TMA FH UII melaksanakan program kerja kepengurusan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak lain, khususnya dalam pengembangan kehidupan beragama mahasiswa di lingkungan kampus. 
Sebagaimana layaknya lembaga dakwah fakultas pada umumnya, TMA FH UII juga memiliki tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kehidupan yang Islami khususnya di lingkungan FH UII. Oleh sebab itu, berbagai kegiatan TMA FH UII senantiasa mengindahkan tujuan mulia tersebut yang kemudian dikristalisasikan dalam bentuk visi yang berbunyi, Mewujudkan lingkungan yang religius, baik di FH UII maupun masyarakat luas.Lebih dari itu, dalam rangka mewujudkan visi tersebut, TMA FH UII kemudian mengkonkritkan langkahnya dengan beberapa poin, antara lain; (a). memakmurkan masjid sebagai pusat kegiatan keislaman, (b). memelihara dan mengaplikasikan nilai-nilai keislaman, (c). mendakwahkan nilai-nilai keislaman, dan (d). menyelenggarakan berbagai kegiatan islami.

@Way2themes

Follow Me