9 Apr 2021

Kajian Aktual: "MENGINGAT PASCA-10 HARI SERANGAN TERORISME KATEDRAL MAKASSAR"



Aksi Terorisme di Makassar memicu perhatian publik dan tidak lepas dari sentimen agama. Hal ini dikarenakan target pengeboman adalah Gereja Katedral pada saat selesai melakukan ibadah misa Minggu Palma. Motif terorisme dalam aksi ini adalah jihad yang diidentikkan dalam Islam. Maka dari itu aksi terorisme ini sangat mengganggu terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tidak dipungkiri aksi terorisme di Gereja Katedral Makassar ini membuat gerakan masyarakat secara horizontal.

Guna mempertajam pemahaman kita terkait dengan permasalahan tersebut, kami dari Takmir Masjid Al-Azhar FH UII melalui divisi KADIS dan HUMAS mengadakan Kajian Aktual "MENGINGAT PASCA-10 HARI SERANGAN TERORISME KATEDRAL MAKASSAR" dan Sub Tema “Menguak Aksi Terorisme di Gereja Katedral di Makassar serta Apakah Tindakan Yang Mengakar Berdampak Pada Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan?” dengan keynote speaker yang dibawakan oleh Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H. selaku Dosen Pidana FH UII serta Joko Hermanto als Jack Harun, selaku Penyintas Terorisme (Peracik dan Perakit Timer pada Bom Bali I) pada hari Rabu, 7 April 2021 pukul 19.30 WIB yang diselenggarakan melalui Zoom meeting.



Diawali pada tahun 1999 Jack Harun menjadi relawan. Namun saat itu terkena fitnah yaitu rakyat sipil dapat memegang senjata dan bahan peledak. Pada tahun 2000 mereka berkumpul dan berpikir untuk membantu saudara yang terdzolimi dan terbunuh. Berprinsip bahwa mereka dapat membunuh saudara kami di belahan bumi sana, sehingga mereka juga dapat membunuh yang berada di Indonesia. Setelah itu mereka melakukan survei, perencanaan mengenai perjalanan, lokasi yang tepat, target, dan juga bentuk penyerangan. Kemudian menentukan Bali sebagai tempatnya. Karena di Bali banyak pendatang di luar negeri, dan memilih waktu malam hari untuk menghindari penduduk lokal yang mungkin terkena ledakan.

Setelah kejadian tersebut Jack Harun menjadi buronan polisi selama 2 tahun. Beliau menyebutkan bahwa sempat melarikan diri bersama rekannya ke Yogyakarta tepatnya di kawasan UMY, kemudian lembah UGM, Wates, Purworejo, sampai Purwokerto. Pada tahun 2004 mereka merasa aman hingga kembali ke Solo dan berbuat aksi bersama Noordin M Top merencanakan pengeboman di Surabaya, PLTU Paiton, rencana aksi fa’i atau perampokan di sebuah pabrik jamur di Kota Malang. Segala sesuatunya dilakukan atas perintah dari Noordin, Jack Harun sebagai pelaksana. Pada saat itu diketahui bahwa sudah banyak poster pencarian Noordin dan Dr. Azahari. Pada hari ke 10 di malam hari, mereka dikepung dan kemudian kabur dengan cara melompat dari pagar rumah persembunyian. Setelahnya Jack Harun mencoba mencari ojek dan kemudian sempat naik bus bersama rekan-rekannya. Saat mereka Kembali berada di Solo, akhirnya terjadi penangkapan besar-besaran yang kemudian membawa mereka ke Jakarta untuk diadili dan divonis selama 6 tahun penjara. Kemudian Jack Harun bebas bersyarat dari LP Cipinang, dan hanya menjalani masa tahanan selama 4.5 tahun.

Jack Harun menyadari dan memulai berpikir bahwa tindakannya bukanlah jihad yang benar, karena perbuatannya tidak diterima oleh masyarakat. Saat berada dalam tahanan, beliau berinteraksi dengan tahanan teroris yang lebih dulu berada di Polda Metro Jaya. Kemudian mendapatkan nasihat agar kembali ke jalan yang benar yaitu kembali pada NKRI dan menjadi bagian dari masyarakat.

Setelah bebas dari masa tahanan, pada tahun 2017 beliau ditawarkan oleh Walikota Surakarta untuk diberikan modal membangun Yayasan bersama rekan-rekannya yang kemudian diberi nama Gema Salam. Pada era pandemi ini mereka juga memberikan banyak bantuan dan sumbangan kepada yang membutuhkan.

Jack Harun dan rekannya pada saat ini sudah NKRI. Dan untuk yang belum NKRI merupakan tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan dan menyadarkan agar kembali mencintai bangsa ini. Beliau tidak setuju dengan gerakan pengeboman di Makassar yang baru saja terjadi. Mereka mengatasnamakan jihad, namun dilakukan dengan melukai dan bahkan membunuh orang lain. Beliau mengingatkan untuk saling bahu membahu untuk mencegah, mengatasi adanya gerakan yang tidak seharusnya. Pada dasarnya prinsip pada teroris yaitu menginginkan sebuah negara atau khalifah Islam, namun yang ada hanyalah mereka menemukan diri mereka berada dalam keadaan khilaf, tersesat dan terjebak dengan radikalisasi. Dan Gerakan-gerakan tersebut justru mencoreng Agama Islam dan menunjuk pada tindakan kriminal.

Jack Harun menghimbau bahwa justru kalangan terpelajar, atau mahasiswa yang menjadi sasaran untuk direkrut dengan cara yang sangat halus dan tidak kentara. Pada awalnya mungkin akan didoktrin untuk tidak mengakui Pancasila dan UUD, bahwa negara Indonesia adalah negara kafir bukan negara Islam. Dengan alasan bahwa negara Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD bukanlah Al-Qur’an dan Hadits.



Terorisme bukanlah hal yang baru, namun sudah terjadi berulang kali dengan pola yang sama. Awal lahirnya peristiwa terorisme adalah pengeboman Gedung WTC dan pentagon pada 11 September 2001. Merupakan suatu tanda lahirnya kejahatan baru yaitu terorisme. Pada sebelumnya memang sudah ada konvensi internasional yang bersifat regional, namun pasca pengeboman tersebut berubah menjadi isu internasional.

Pihak Amerika pada saat itu menyuarakan konsep “World Against Terrorism” yang merupakan terminologi yang salah. Karena seharunya kejahatan terorisme itu tidak diperangi namun ditegakkan dengan hukum. Jike menggunakan istilah ini seolah olah menyelesaikan terorisme hanya dapat dilakukan dengan menggunakan hukum perang. Amerika melakukan itu untuk mengukuhkan mereka sebagai negara adidaya.

Kemudian diikuti oleh Indonesia dengan adanya kebijakan bahwa Densus 88 dapat menembak mati terduga terorisme. Padahal hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan karena otomatis kasusnya selesai. Hal ini berlaku karena hukum pidana menggunakan asas individual responsibility.

Selanjutnya pasca peristiwa Bom Bali, PBB mengeluarkan resolusi 1438 yang menyebutkan bahwa Bom Bali mengancam keamanan internasional. Maka dengan itu dikeluarkanlah Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan juga terdapat UU Nomor 15 Tahun 2003 yang menggantinya. Diberlakukan surut untuk kasus Bom Bali I. dihukum berdasarkan asas retroaktif.

Indonesia diketahui juga mengikuti Amerika dalam menyelesaikan kasus terorisme yaitu dengan menggunakan hukum perang. Dapat dilihat pada kasus di Temanggung, terduga terkurung dalam sebuah rumah dikepung oleh ratusan Densus 88 dan kemudian ditembak mati. Contoh selanjutnya yaitu peristiwa yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus seorang perempuan yang memasuki kawasan Mabes Polri dengan membawa senjata api, namun polisi menembak bagian vital yang langsung membunuh pelaku seolah-olah itu merupakan tindakan yang paling tepat.

Kekeliruan seolah-olah menggunakan hukum perang dapat dilihat dengan adanya Ekstra Judicial Killing oleh Densus 88. Padahal pada beberapa kasus tertentu belum jelas apakah ia adalah pelaku tindak pidana terorisme tersebut. Padahal penggunaan senjata api dan Ekstra Judicial Killing Menggunakan syarat yang sangat ketat. Karena jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut termasuk ke dalam pelangggaran HAM.

Kemudian permasalahan mengenai terorisme di Indonesia selanjutnya adalah selama ini kasus terorisme hampir selalu diindentikkan dengan Islam. Hal ini berdasarkan pada pandangan Amerika terhadap terorisme. Dulu terorisme selalu dikaitkan dengan Al Qaeda yang selalu dijadikan kambing hitam, untuk sekarang beralih pada ISIS, atau JI dan JAD di Indonesia. Selalu diidentikkan dengan Islam padahal beberapa kasus terorisme pelakunya bukan dari umat Islam. Seperti kasus di Papua yang menewaskan banyak orang di Timika, namun tidak diterapkan UU pidana terorisme dan kepemilikan senjata api ilegal.

Indonesia mengikuti pandangan Amerika Serikat, padahal mereka melakukan hal tersebut karena memiliki kepentingan. Mereka mencegah bangkitnya kembali masa Islam, karena mereka menganggap hal tersebut berbahaya maka harus dihabisi atau dimusnahkan. Maka dari itu mereka membuat kejahatan baru yaitu terorisme dengan dasar kesalahan umat Islam.

Selanjutnya adalah seharusnya perlindungan terhadap tersangka perlu diperhatikan. Sebagaimana diatur dalam Hukum Pidana yaitu:

  1. Memberikan perlindungan terhadap negara
  2. Perlindungan kepada korban
  3. Perlakuan yang adil dan menghormati hak tersangka atau terdakwa atau pelaku.

 

Oleh: Cindy Kurniasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkunjung DI BLOG TAKMIR MASJID AL-AZHAR Fakultas Hukum UII

@Way2themes

Follow Me