Aksi Terorisme di Makassar memicu perhatian publik dan
tidak lepas dari sentimen agama. Hal ini dikarenakan target pengeboman adalah
Gereja Katedral pada saat selesai melakukan ibadah misa Minggu Palma. Motif
terorisme dalam aksi ini adalah jihad yang diidentikkan dalam Islam. Maka dari
itu aksi terorisme ini sangat mengganggu terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia. Tidak dipungkiri aksi terorisme di Gereja Katedral
Makassar ini membuat gerakan masyarakat secara horizontal.
Guna
mempertajam pemahaman kita terkait dengan permasalahan tersebut, kami dari
Takmir Masjid Al-Azhar FH UII melalui divisi KADIS dan HUMAS mengadakan Kajian Aktual
"MENGINGAT
PASCA-10 HARI SERANGAN TERORISME KATEDRAL MAKASSAR" dan Sub Tema “Menguak Aksi Terorisme di Gereja Katedral
di Makassar serta Apakah Tindakan Yang Mengakar Berdampak Pada Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan?” dengan keynote speaker
yang dibawakan oleh Ari Wibowo, S.HI.,
S.H., M.H. selaku Dosen Pidana FH UII serta Joko Hermanto als Jack Harun, selaku Penyintas Terorisme
(Peracik dan Perakit Timer pada Bom Bali I)
pada hari Rabu,
7 April
2021 pukul 19.30 WIB yang diselenggarakan melalui Zoom meeting.
Diawali
pada tahun 1999 Jack Harun menjadi relawan. Namun saat itu terkena fitnah yaitu
rakyat sipil dapat memegang senjata dan bahan peledak. Pada tahun 2000 mereka berkumpul
dan berpikir untuk membantu saudara yang terdzolimi dan terbunuh. Berprinsip
bahwa mereka dapat membunuh saudara kami di belahan bumi sana, sehingga mereka
juga dapat membunuh yang berada di Indonesia. Setelah itu mereka melakukan
survei, perencanaan mengenai perjalanan, lokasi yang tepat, target, dan juga bentuk
penyerangan. Kemudian menentukan Bali sebagai tempatnya. Karena di Bali banyak
pendatang di luar negeri, dan memilih waktu malam hari untuk menghindari
penduduk lokal yang mungkin terkena ledakan.
Setelah
kejadian tersebut Jack Harun menjadi buronan polisi selama 2 tahun. Beliau
menyebutkan bahwa sempat melarikan diri bersama rekannya ke Yogyakarta tepatnya
di kawasan UMY, kemudian lembah UGM, Wates, Purworejo, sampai Purwokerto. Pada
tahun 2004 mereka merasa aman hingga kembali ke Solo dan berbuat aksi bersama Noordin
M Top merencanakan pengeboman di Surabaya, PLTU Paiton, rencana aksi fa’i atau
perampokan di sebuah pabrik jamur di Kota Malang. Segala sesuatunya dilakukan
atas perintah dari Noordin, Jack Harun sebagai pelaksana. Pada saat itu
diketahui bahwa sudah banyak poster pencarian Noordin dan Dr. Azahari. Pada hari
ke 10 di malam hari, mereka dikepung dan kemudian kabur dengan cara melompat
dari pagar rumah persembunyian. Setelahnya Jack Harun mencoba mencari ojek dan
kemudian sempat naik bus bersama rekan-rekannya. Saat mereka Kembali berada di
Solo, akhirnya terjadi penangkapan besar-besaran yang kemudian membawa mereka
ke Jakarta untuk diadili dan divonis selama 6 tahun penjara. Kemudian Jack
Harun bebas bersyarat dari LP Cipinang, dan hanya menjalani masa tahanan selama
4.5 tahun.
Jack
Harun menyadari dan memulai berpikir bahwa tindakannya bukanlah jihad yang
benar, karena perbuatannya tidak diterima oleh masyarakat. Saat berada dalam
tahanan, beliau berinteraksi dengan tahanan teroris yang lebih dulu berada di
Polda Metro Jaya. Kemudian mendapatkan nasihat agar kembali ke jalan yang benar
yaitu kembali pada NKRI dan menjadi bagian dari masyarakat.
Setelah
bebas dari masa tahanan, pada tahun 2017 beliau ditawarkan oleh Walikota
Surakarta untuk diberikan modal membangun Yayasan bersama rekan-rekannya yang kemudian
diberi nama Gema Salam. Pada era pandemi ini mereka juga memberikan banyak
bantuan dan sumbangan kepada yang membutuhkan.
Jack
Harun dan rekannya pada saat ini sudah NKRI. Dan untuk yang belum NKRI merupakan
tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan dan menyadarkan agar kembali
mencintai bangsa ini. Beliau tidak setuju dengan gerakan pengeboman di Makassar
yang baru saja terjadi. Mereka mengatasnamakan jihad, namun dilakukan dengan
melukai dan bahkan membunuh orang lain. Beliau mengingatkan untuk saling bahu
membahu untuk mencegah, mengatasi adanya gerakan yang tidak seharusnya. Pada
dasarnya prinsip pada teroris yaitu menginginkan sebuah negara atau khalifah
Islam, namun yang ada hanyalah mereka menemukan diri mereka berada dalam
keadaan khilaf, tersesat dan terjebak dengan radikalisasi. Dan Gerakan-gerakan tersebut
justru mencoreng Agama Islam dan menunjuk pada tindakan kriminal.
Jack Harun menghimbau bahwa justru kalangan terpelajar, atau mahasiswa yang menjadi sasaran untuk direkrut dengan cara yang sangat halus dan tidak kentara. Pada awalnya mungkin akan didoktrin untuk tidak mengakui Pancasila dan UUD, bahwa negara Indonesia adalah negara kafir bukan negara Islam. Dengan alasan bahwa negara Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD bukanlah Al-Qur’an dan Hadits.
Terorisme
bukanlah hal yang baru, namun sudah terjadi berulang kali dengan pola yang
sama. Awal lahirnya peristiwa terorisme adalah pengeboman Gedung WTC dan
pentagon pada 11 September 2001. Merupakan suatu tanda lahirnya kejahatan baru
yaitu terorisme. Pada sebelumnya memang sudah ada konvensi internasional yang
bersifat regional, namun pasca pengeboman tersebut berubah menjadi isu
internasional.
Pihak
Amerika pada saat itu menyuarakan konsep “World Against Terrorism” yang
merupakan terminologi yang salah. Karena seharunya kejahatan terorisme itu
tidak diperangi namun ditegakkan dengan hukum. Jike menggunakan istilah ini seolah
olah menyelesaikan terorisme hanya dapat dilakukan dengan menggunakan hukum
perang. Amerika melakukan itu untuk mengukuhkan mereka sebagai negara adidaya.
Kemudian
diikuti oleh Indonesia dengan adanya kebijakan bahwa Densus 88 dapat menembak
mati terduga terorisme. Padahal hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan karena otomatis kasusnya selesai. Hal ini
berlaku karena hukum pidana menggunakan asas individual responsibility.
Selanjutnya
pasca peristiwa Bom Bali, PBB mengeluarkan resolusi 1438 yang menyebutkan bahwa
Bom Bali mengancam keamanan internasional. Maka dengan itu dikeluarkanlah Perppu Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan juga terdapat
UU Nomor 15 Tahun 2003 yang menggantinya. Diberlakukan surut untuk kasus Bom Bali
I. dihukum berdasarkan asas retroaktif.
Indonesia
diketahui juga mengikuti Amerika dalam menyelesaikan kasus terorisme yaitu
dengan menggunakan hukum perang. Dapat dilihat pada kasus di Temanggung,
terduga terkurung dalam sebuah rumah dikepung oleh ratusan Densus 88 dan
kemudian ditembak mati. Contoh selanjutnya yaitu peristiwa yang baru-baru ini
terjadi yaitu kasus seorang perempuan yang memasuki kawasan Mabes Polri dengan
membawa senjata api, namun polisi menembak bagian vital yang langsung membunuh
pelaku seolah-olah itu merupakan tindakan yang paling tepat.
Kekeliruan
seolah-olah menggunakan hukum perang dapat dilihat dengan adanya Ekstra Judicial
Killing oleh Densus 88. Padahal pada beberapa kasus tertentu belum jelas apakah
ia adalah pelaku tindak pidana terorisme tersebut. Padahal penggunaan senjata
api dan Ekstra Judicial Killing Menggunakan syarat yang sangat ketat. Karena jika
syarat tersebut tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut termasuk ke dalam pelangggaran
HAM.
Kemudian
permasalahan mengenai terorisme di Indonesia selanjutnya adalah selama ini
kasus terorisme hampir selalu diindentikkan dengan Islam. Hal ini berdasarkan
pada pandangan Amerika terhadap terorisme. Dulu terorisme selalu dikaitkan
dengan Al Qaeda yang selalu dijadikan kambing hitam, untuk sekarang beralih
pada ISIS, atau JI dan JAD di Indonesia. Selalu diidentikkan dengan Islam
padahal beberapa kasus terorisme pelakunya bukan dari umat Islam. Seperti kasus
di Papua yang menewaskan banyak orang di Timika, namun tidak diterapkan UU
pidana terorisme dan kepemilikan senjata api ilegal.
Indonesia
mengikuti pandangan Amerika Serikat, padahal mereka melakukan hal tersebut
karena memiliki kepentingan. Mereka mencegah bangkitnya kembali masa Islam,
karena mereka menganggap hal tersebut berbahaya maka harus dihabisi atau
dimusnahkan. Maka dari itu mereka membuat kejahatan baru yaitu terorisme dengan
dasar kesalahan umat Islam.
Selanjutnya adalah seharusnya perlindungan terhadap tersangka perlu diperhatikan. Sebagaimana diatur dalam Hukum Pidana yaitu:
- Memberikan perlindungan terhadap negara
- Perlindungan
kepada korban
- Perlakuan
yang adil dan menghormati hak tersangka
atau terdakwa atau pelaku.
Oleh:
Cindy Kurniasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkunjung DI BLOG TAKMIR MASJID AL-AZHAR Fakultas Hukum UII