Merantau Demi Ridha Ilahi
Oleh: Nikmah Mentari[1]
“Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami dan
dekatkanlah kejauhannya. Ya Allah, Engkau adalah teman kepergian dan pelindung
keluarga,” merupakan terjemahan dari do’a akan bepergian yang terdapat
dalam buku do’a untuk anak-anak. Sebagai makhluk Allah yang masih diberi nafas
kehidupan, nyawa yang melekat dan rentang usia panjang, kita (manusia) memiliki
organ tubuh dan sarana alam untuk berpindah tempat, move on, bergerak dan termasuk melakukan perjalanan. Bahkan seperti
yang diketahui, bahwasannya perjalanan hidup manusia sejak zaman azali sudah
tercatat dalam lauhul mahfudz.
Dimulai perpindahan manusia sejak dalam kandungan, lahir ke dunia sebagai
makhluk suci layaknya kertas, bersemayam dalam liang lahat seukuran 1x2 meter
persegi kemudian di sebuah muara akhir tiada akhir yaitu alam akhirat. Semua manusia di
muka bumi ini, dari zaman nenek moyang kita (kecuali Adam dan Hawa yang diciptakan secara langsung dan bukan dilahirkan)
hingga nanti keturunan terakhir beberapa waktu mendatang akan mengalami semua siklus tersebut.
Dari asal kembali ke asal.
Namun,
perjalanan seperti apakah yang mulia di sisi Allah SWT, bermanfaat baik bagi
diri sendiri maupun orang lain? Berapa lamakah perjalanan tersebut harus
ditempuh? Sejam? Sehari? Sebulan? Ataukah bertahun-tahun? Dalam syair Imam
Syafii tertulis, “Orang berilmu dan
beradab tidak akan diam di kampung halaman, tinggalkan negerimu dan merantaulah
ke ke negeri orang, merataulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan
kawan, berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang, aku
melihat air menjadi rusak karena diam tertahan, jika mengalir jernih, jika
tidak, kan keruh menggenang, singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat
mangsa, anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran, jika
matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya
dan enggan memandang, bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari
tambang, kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan,
merantaulah. Gapailah setinggi-tingginya impianmu, bepergianlah. Maka ada lima
keutamaan untukmu;melipur duka dan memulai penghidupan baru, memperkaya budi,
pergaulan yang terpuji, serta meluaskan ilmu.” Sangat jelas baik secara
tersurat maupun tersirat, manusia harus bergerak dan terus bergerak yaitu
melakukan perjalanan mulia untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT semata.
Perjalanan
bukanlah sekedar perjalanan biasa, namun perantauan untuk mencari rahmat Allah
berupa ilmu, pekerjaan atau kehidupan lebih baik (hijrah). Mengutip hadist, Dari
Ibnu Umar r.a, rasulullah bersabda: “hiduplah kamu di dunia ini seakan perantau
atau pengembara (musafir)” (H.R Bukhari). Esensi dari hadist
tersebut menekankan kehidupan di dunia ini agar lebih baik dengan sebuah
pengembaraan mencari rahmat-rahmat Allah di bumi yang luas. Dengan melakukan
perjalanan baik sebagai musafir maupun sebagai perantau, kita bisa menikmati
keindahan tempat-tempat yang tidak pernah ditemui, budaya yang berbeda serta
kehidupan manusia lain. Disanalah
kita akan belajar banyak hal, belajar masa lalu di tempat-tempat tertentu,
belajar masa kini di tempat singgah dan belajar masa depan di tempat yang akan
dituju.
Merantau dengan niat
mendapatkan ridha ilahi akan lebih baik daripada niat merantau sekedar memenuhi
nafsu manusiawi saja. Seperti apakah merantau demi ridha ilahi itu? Pergi
meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari rizki yang berkah dan penuh rahmat,
di jalan Allah. Bukankah mencari ilmu dan bekerja itu merupakan salah satu
jihad?
“Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya
(Qs. At-Taubah:122) atau “Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah
(lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR.
Ad-Dailami) merupakan kewajiban sebagai umat muslim
untuk berjihad selain dengan perang.
Seseorang yang hanya
berdiam diri hidup di kotanya sepanjang hidup tidak akan memiliki banyak kawan,
buta lingkungan, serta hidup yang membosankan dan cenderung flat life.
Sangat berbeda dengan seseorang yang pernah merantau baik itu untuk menuntut
ilmu maupun mengais rezeki, tak hanya kawan bahkan saudara yang akan didapat,
namun wawasan, kehidupan penuh tantangan dan rahmat Allah dimanapun ia berada. Luasnya jaringan koneksi sosial mempermudah jalan hidup
seseorang menjadi pribadi yang lebih berkualitas dikarenakan mampu
bersinggungan dengan berbagai karakter dan kepribadian orang, sehingga ia bisa
menempatkan diri.
Sayangnya, sebagian
orang lebih memilih berada dalam comfort
zone dan merasa kehidupan sudah lebih baik saat ini dan begini-begini saja.
Tak ingin bersusah payah jauh dari rumah atau keluarga, hidup di tanah asing,
mengenal orang-orang asing. Padahal dalam sebuah hadist Ibnu ‘Umar r.a, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,“Seorang mukmin yang bergaul dengan
manusia dan bersabar menghadapi gangguan mereka lebih baik daripada seorang
mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar menghadapi gangguan
mereka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) hal ini dikarenakan manusia
sebagai makhluk sosial memang diwajibkan atasnya bergaul dengan
sebanyak-banyaknya umat. Jikalau seseorang enggan melakukan perantauan dan
menutup diri dari masyarakat luas, maka ia kehilangan fitrah sebagai makhluk sosial. Sangatlah wajar menemui orang-orang
yang berbeda karakter dan kehidupan, maka tak jarang sering ditemui
ketidakcocokan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bagi diri kita. Hanya saja
hal itu harus dihadapi dengan sabar sebagai bentuk mencari keridhaan Allah.
Jika seseorang enggan
melakukan perantauan, banyak juga yang senang melakukan perantauan, namun
terkadang manusia seringkali luput dari niat utama yaitu perantauan demi
mendapatkan ridha Ilahi. Sebagai seorang mahasiswi yang harus memenuhi hasrat
akan mencari ilmu, seringkali
kita
harus berpisah dengan orangtua yang selalu ada, kenyamanan hidup di rumah serta
kehangatan keluarga dengan jarak ratusan kilometer. Akan tetapi, kita tidaklah sendiri, puluhan ribu teman sejawat
juga tiba saatnya melepaskan diri dari sangkar ibarat merpati, siap terbang
mengepakkan sayap melihat dunia dengan begitu indah mencari persinggahan baru,
harus rela hidup jauh dalam dimensi ruang yang berbeda dengan orangtua mereka.
Semua hanya demi menuntut ilmu, mengisi bejana kosong dalam hati, dan otak yang haus akan pengetahuan.
Dari
Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: “….dan barangsiapa yang
menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan
menuju surga.” (H.R Imam Muslim). Sangat
menggembirakan bahwa seseorang yang melakukan perjalanan atau perantauan demi menuntut
ilmu mendapatkan derajat mulia di sisi Allah bahkan dijamin kemudahan menuju
surga. Sangat rugi jika tujuan untuk menuntut ilmu itu disalahgunakan untuk
hal-hal yang tidak berguna dan bahkan cenderung maksiat karena kebebasan yang
dimiliki seorang perantau.
Atau
jikalau kita seorang pekerja maka, Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil
(professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk
keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza
wajalla. (HR.
Ahmad). Bekerja mencari nafkah
juga merupakan suatu kemuliaan di sisi Allah SWT. Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus)
dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan
kesusah- payahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani). Kesusah-payahan disini tidak hanya susah
payah mencari rezeki secara bentuknya saja, namun susah payah pergi merantau ke
kota lain meninggalkan anak-istri atau keluarga demi mengais rezeki lebih baik.
Akan tetapi, tak jarang
saya melihat fenomena yang memilukan ketika teman sejawat begitu terbuai dengan
kebebasan di kota/negeri orang, dimana seharusnya kedatangan mereka untuk hidup
mandiri dengan baik dan mencari sebanyak-banyaknya ilmu serta pengalaman positif
malah disalahgunakan untuk foya-foya dan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Terlebih ketika kota yang disinggahi lebih modern dan metropolitan sehingga
menyuguhkan gaya hidup yang serba mewah serta hedonis. Hal tersebut serupa
dengan orang-orang yang rela meninggalkan kampung halaman demi bekerja di tanah
orang, ketika menikmati hasil jerih payah yang seharusnya dipergunakan dengan
baik malah demi memenuhi gengsi berlebihan. Jikalau tidak diimbangi dengan iman
maupun kesadaran diri, maka akan sulit sekali dapat bertahan menjadi diri
sendiri bahkan seringkali menipu diri untuk bisa diterima kalangan-kalangan tertentu
bahkan perantauannya dijadikan ajang berbuat maksiat. Naudzubillahimindzalik.
Dalam meraih perantauan
yang diridhai Allah, maka sebagai hamba Allah yang rindu akan surgaNya,
hendaklah kita kembali pada niat ilahiah, yaitu niat merantau di jalan Allah,
demi mendapatkan ridhaNya sebagai berikut:
Pertama, tanyakan pada
diri sendiri siapakah anda dan untuk apa anda berada di kota/negeri orang ini?
Jikalau anda seorang pelajar maka untuk apa anda datang jauh-jauh kesini jika
tidak belajar? Ingatkah anda bagaimana keringat terus mengucur dari kening
kedua orangtua yang tiada lelah membanting tulang demi membiayai dahaga ilmu
anda?sudahkah anda berbakti kepada mereka dengan menuntut ilmu sebaik-baiknya
seperti yang mereka harapkan? Atau jikalau anda seorang pekerja, maka mengapa
anda mengais rezeki di kota/negeri orang sejauh ini? Bermanfaat dan barokahkah kerja
anda jikalau hanya mengutamakan nilai-nilai materiil saja? Apakah anda mencari
rezeki yang halal dan berkah atau penuh syubhat bahkan haram? Apakah gaji anda
sudah memakmurkan kedua orangtua atau keluarga anda? Bukankah tujuan dari
bekerja adalah untuk memperbaiki kehidupan diri sendiri dan keluarga? Sudahkah
anda menabung untuk masa depan? Atau mengumrohkan/hajikan kedua orangtua?
Jika anda menekuri
semua itu, maka mari kita kembali ke muasal Sang Pemilik Ilmu dan Rezeki dengan
selalu memulai pekerjaan mengucap basmallah, berniat untuk menjadi orang
berguna, melakukan yang baik-baik dan menghindari bentuk kegiatan buruk serta
berdoa agar selalu diberi kemudahan serta kelancaran dalam segala urusan. Sebuah
hadist Bukhari meriwayatkan, “dari Amirul
mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab R.A, beliau berkata: aku telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “bahwasannya segala amal perbuatan itu tergantung pada
niat, dan barangsiapa perbuatan yang niat hijrahnya menuju Allah dan rasulNya,
maka (nilai&pahala) hijrahnya itu (nilai&pahala)menuju Allah dan
RasulNya. Barangsiapa niatnya karena dunia (harta atau kemegahan dunia) atau
karena seorang wanita yang akan dikawininya maka (nilai) hijrahnya itu adalah
(nilai hijrah) kea rah yang ditujunya,”
Kedua, taubatan nasuha.
Bahwasannya dengan bertaubat maka akan menyucikan diri dari segala dosa dan itu
akan mempercepat terkabulnya segala do’a. Bagaimana do’a kita akan dikabulkan
jika saja diri ini penuh dengan dosa dan tidak segera bertaubat.
Ketiga, berusaha
mengikuti kegiatan positif seperti kelompok belajar, keorganisasian kampus,
keorganisasian agama, atau pengembangan minat dan bakat berupa olahraga serta
seni bagi pelajar, dan jikalau sebagai pekerja maka bisa mengikuti kegiatan di
sekitar rumah. Tak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan non akademik atau
kemasyarakatan lainnya merupakan salah satu benteng yang dapat mencegah hal-hal
negativ dari kegiatan-kegiatan lain yang cenderung tidak bermanfaat, foya-foya,
bahkan maksiat. Selain itu, pengalaman-pengalaman yang tidak akan didapat dalam
bangku sekolah atau keseharian tugas kantor, akan sangat membantu pembentukan
diri dan karakter seseorang dalam bermasyarakat dan ini merupakan bekal di masa
mendatang. Mengurangi bahkan menghindari perbuatan maksiat akan mempermudah
dalam menggapai impian-impian kita. Imam Syafii pernah curhat kepada gurunya
Imam Waki’ tentang susahnya mendapatkan ilmu: aku mengadu kepada Imam Waki’I tentang susahnya menghafal atau
mendapatkan ilmu. Maka Imam waki’I memberiku petunjuk untuk meninggalkan maksiat
dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan
diberikan kepada orang yang bermaksiat. Hal ini berlaku juga untuk kita
yang sedang bekerja. Hindarilah yang buruk-buruk maka yang baik akan hadir
dengan lebih besar.
Keempat, selalu
mengevaluasi diri dengan capaian-capaian yang didapat baik dalam jangka waktu
dekat maupun jangka panjang. Hal ini untuk memotivasi agar lebih semangat dalam
menjalani perantauan panjang sebagai seorang pelajar maupun pekerja, sejauh
manakah perantauan ilmunya telah menghasilkan sesuatu atau yang telah didapat
dan seberapa banyakkah capaian yang tertunda bahkan belum terwujud. Apa yang
kita hasilkan sebagai pelajar? Sudahkah kita berbagi ilmu dan bermanfaat bagi
orang lain atas ilmu kita meski kita masih sedang belajar? Sebagai seorang
pekerja, sudahkah berzakat sebagai penyuci harta? Sudahkah sedekah dan berbagai
dengan sesama agar harta lebih berkah? Apakah pekerjaan kita halal dan
bermanfaat bagi kemashlahatan umat?
Kelima, selalu
istiqomah dengan semua yang kegiatan yang dijalani agar memudahkan terwujudnya
semua cita-cita. Keenam, bersyukur
dengan apa yang dimiliki dan apa yang belum dimiliki. Terakhir, menjadikan Nabi
Muhammad SAW sebagai suri tauladan baik sebagai seorang pencari ilmu kepada
jibril, maupun sebagai pekerja dengan berdagang Mengembalikan semua urusan dan
keputusan kepada Sang Pemilik Hidup, yaitu Allah SWT setelah lelah berjuang.
Maka, perantauan
panjang yang penuh lika-liku kehidupan akan berakhir pada satu muara yang
indah. Muara dari segala muara, yaitu alam kekal dalam surgaNya karena setiap
langkah kita hanya untukNya, hanya demi menggapai ridhoNya dan semua akan
terbalaskan dengan kehidupan bahagia baik di dunia maupun akhirat, insya Allah.
[1] Penulis adalah mahasiswa aktif fh uii
angkatan 2012 dan pengurus takmir masjid al azhar periode 2014-2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkunjung DI BLOG TAKMIR MASJID AL-AZHAR Fakultas Hukum UII