20 Des 2015

Merantau Demi Ridha Ilahi

Merantau Demi Ridha Ilahi
Oleh: Nikmah Mentari[1]

            “Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami dan dekatkanlah kejauhannya. Ya Allah, Engkau adalah teman kepergian dan pelindung keluarga,” merupakan terjemahan dari do’a akan bepergian yang terdapat dalam buku do’a untuk anak-anak. Sebagai makhluk Allah yang masih diberi nafas kehidupan, nyawa yang melekat dan rentang usia panjang, kita (manusia) memiliki organ tubuh dan sarana alam untuk berpindah tempat, move on, bergerak dan termasuk melakukan perjalanan. Bahkan seperti yang diketahui, bahwasannya perjalanan hidup manusia sejak zaman azali sudah tercatat dalam lauhul mahfudz. Dimulai perpindahan manusia sejak dalam kandungan, lahir ke dunia sebagai makhluk suci layaknya kertas, bersemayam dalam liang lahat seukuran 1x2 meter persegi kemudian di sebuah muara akhir tiada akhir yaitu alam akhirat. Semua manusia di muka bumi ini, dari zaman nenek moyang kita (kecuali Adam dan Hawa yang diciptakan secara langsung dan bukan dilahirkan) hingga nanti keturunan terakhir beberapa waktu mendatang akan mengalami semua siklus tersebut. Dari asal kembali ke asal.
            Namun, perjalanan seperti apakah yang mulia di sisi Allah SWT, bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain? Berapa lamakah perjalanan tersebut harus ditempuh? Sejam? Sehari? Sebulan? Ataukah bertahun-tahun? Dalam syair Imam Syafii tertulis, “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman, tinggalkan negerimu dan merantaulah ke ke negeri orang, merataulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan, berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang, aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan, jika mengalir jernih, jika tidak, kan keruh menggenang, singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa, anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran, jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang, bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang, kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan, merantaulah. Gapailah setinggi-tingginya impianmu, bepergianlah. Maka ada lima keutamaan untukmu;melipur duka dan memulai penghidupan baru, memperkaya budi, pergaulan yang terpuji, serta meluaskan ilmu.” Sangat jelas baik secara tersurat maupun tersirat, manusia harus bergerak dan terus bergerak yaitu melakukan perjalanan mulia untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT semata.
            Perjalanan bukanlah sekedar perjalanan biasa, namun perantauan untuk mencari rahmat Allah berupa ilmu, pekerjaan atau kehidupan lebih baik (hijrah). Mengutip hadist, Dari Ibnu Umar r.a, rasulullah bersabda: “hiduplah kamu di dunia ini seakan perantau atau pengembara (musafir)” (H.R Bukhari). Esensi dari hadist tersebut menekankan kehidupan di dunia ini agar lebih baik dengan sebuah pengembaraan mencari rahmat-rahmat Allah di bumi yang luas. Dengan melakukan perjalanan baik sebagai musafir maupun sebagai perantau, kita bisa menikmati keindahan tempat-tempat yang tidak pernah ditemui, budaya yang berbeda serta kehidupan manusia lain. Disanalah kita akan belajar banyak hal, belajar masa lalu di tempat-tempat tertentu, belajar masa kini di tempat singgah dan belajar masa depan di tempat yang akan dituju.
Merantau dengan niat mendapatkan ridha ilahi akan lebih baik daripada niat merantau sekedar memenuhi nafsu manusiawi saja. Seperti apakah merantau demi ridha ilahi itu? Pergi meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari rizki yang berkah dan penuh rahmat, di jalan Allah. Bukankah mencari ilmu dan bekerja itu merupakan salah satu jihad?
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Qs. At-Taubah:122)  atau “Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang  halal.” (HR. Ad-Dailami) merupakan kewajiban sebagai umat muslim untuk berjihad selain dengan perang.
Seseorang yang hanya berdiam diri hidup di kotanya sepanjang hidup tidak akan memiliki banyak kawan, buta lingkungan, serta hidup yang membosankan dan cenderung flat life. Sangat berbeda dengan seseorang yang pernah merantau baik itu untuk menuntut ilmu maupun mengais rezeki, tak hanya kawan bahkan saudara yang akan didapat, namun wawasan, kehidupan penuh tantangan dan rahmat Allah dimanapun ia berada. Luasnya jaringan koneksi sosial mempermudah jalan hidup seseorang menjadi pribadi yang lebih berkualitas dikarenakan mampu bersinggungan dengan berbagai karakter dan kepribadian orang, sehingga ia bisa menempatkan diri.
Sayangnya, sebagian orang lebih memilih berada dalam comfort zone dan merasa kehidupan sudah lebih baik saat ini dan begini-begini saja. Tak ingin bersusah payah jauh dari rumah atau keluarga, hidup di tanah asing, mengenal orang-orang asing. Padahal dalam sebuah hadist Ibnu ‘Umar r.a, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar menghadapi gangguan mereka lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial memang diwajibkan atasnya bergaul dengan sebanyak-banyaknya umat. Jikalau seseorang enggan melakukan perantauan dan menutup diri dari masyarakat luas, maka ia kehilangan fitrah sebagai makhluk sosial. Sangatlah wajar menemui orang-orang yang berbeda karakter dan kehidupan, maka tak jarang sering ditemui ketidakcocokan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bagi diri kita. Hanya saja hal itu harus dihadapi dengan sabar sebagai bentuk mencari keridhaan Allah. 
Jika seseorang enggan melakukan perantauan, banyak juga yang senang melakukan perantauan, namun terkadang manusia seringkali luput dari niat utama yaitu perantauan demi mendapatkan ridha Ilahi. Sebagai seorang mahasiswi yang harus memenuhi hasrat akan mencari ilmu, seringkali kita harus berpisah dengan orangtua yang selalu ada, kenyamanan hidup di rumah serta kehangatan keluarga dengan jarak ratusan kilometer. Akan tetapi, kita tidaklah sendiri, puluhan ribu teman sejawat juga tiba saatnya melepaskan diri dari sangkar ibarat merpati, siap terbang mengepakkan sayap melihat dunia dengan begitu indah mencari persinggahan baru, harus rela hidup jauh dalam dimensi ruang yang berbeda dengan orangtua mereka. Semua hanya demi menuntut ilmu, mengisi bejana kosong dalam hati, dan otak yang haus akan pengetahuan.
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: “….dan barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R Imam Muslim). Sangat menggembirakan bahwa seseorang yang melakukan perjalanan atau perantauan demi menuntut ilmu mendapatkan derajat mulia di sisi Allah bahkan dijamin kemudahan menuju surga. Sangat rugi jika tujuan untuk menuntut ilmu itu disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak berguna dan bahkan cenderung maksiat karena kebebasan yang dimiliki seorang perantau.
Atau jikalau kita seorang pekerja maka,  Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli).  Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang  mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad). Bekerja mencari nafkah juga merupakan suatu kemuliaan di sisi Allah SWT. Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah- payahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani). Kesusah-payahan disini tidak hanya susah payah mencari rezeki secara bentuknya saja, namun susah payah pergi merantau ke kota lain meninggalkan anak-istri atau keluarga demi mengais rezeki lebih baik.
Akan tetapi, tak jarang saya melihat fenomena yang memilukan ketika teman sejawat begitu terbuai dengan kebebasan di kota/negeri orang, dimana seharusnya kedatangan mereka untuk hidup mandiri dengan baik dan mencari sebanyak-banyaknya ilmu serta pengalaman positif malah disalahgunakan untuk foya-foya dan sesuatu yang tidak bermanfaat. Terlebih ketika kota yang disinggahi lebih modern dan metropolitan sehingga menyuguhkan gaya hidup yang serba mewah serta hedonis. Hal tersebut serupa dengan orang-orang yang rela meninggalkan kampung halaman demi bekerja di tanah orang, ketika menikmati hasil jerih payah yang seharusnya dipergunakan dengan baik malah demi memenuhi gengsi berlebihan. Jikalau tidak diimbangi dengan iman maupun kesadaran diri, maka akan sulit sekali dapat bertahan menjadi diri sendiri bahkan seringkali menipu diri untuk bisa diterima kalangan-kalangan tertentu bahkan perantauannya dijadikan ajang berbuat maksiat. Naudzubillahimindzalik.
Dalam meraih perantauan yang diridhai Allah, maka sebagai hamba Allah yang rindu akan surgaNya, hendaklah kita kembali pada niat ilahiah, yaitu niat merantau di jalan Allah, demi mendapatkan ridhaNya sebagai berikut:
Pertama, tanyakan pada diri sendiri siapakah anda dan untuk apa anda berada di kota/negeri orang ini? Jikalau anda seorang pelajar maka untuk apa anda datang jauh-jauh kesini jika tidak belajar? Ingatkah anda bagaimana keringat terus mengucur dari kening kedua orangtua yang tiada lelah membanting tulang demi membiayai dahaga ilmu anda?sudahkah anda berbakti kepada mereka dengan menuntut ilmu sebaik-baiknya seperti yang mereka harapkan? Atau jikalau anda seorang pekerja, maka mengapa anda mengais rezeki di kota/negeri orang sejauh ini? Bermanfaat dan barokahkah kerja anda jikalau hanya mengutamakan nilai-nilai materiil saja? Apakah anda mencari rezeki yang halal dan berkah atau penuh syubhat bahkan haram? Apakah gaji anda sudah memakmurkan kedua orangtua atau keluarga anda? Bukankah tujuan dari bekerja adalah untuk memperbaiki kehidupan diri sendiri dan keluarga? Sudahkah anda menabung untuk masa depan? Atau mengumrohkan/hajikan kedua orangtua?
Jika anda menekuri semua itu, maka mari kita kembali ke muasal Sang Pemilik Ilmu dan Rezeki dengan selalu memulai pekerjaan mengucap basmallah, berniat untuk menjadi orang berguna, melakukan yang baik-baik dan menghindari bentuk kegiatan buruk serta berdoa agar selalu diberi kemudahan serta kelancaran dalam segala urusan. Sebuah hadist Bukhari meriwayatkan, “dari Amirul mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab R.A, beliau berkata: aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “bahwasannya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan barangsiapa perbuatan yang niat hijrahnya menuju Allah dan rasulNya, maka (nilai&pahala) hijrahnya itu (nilai&pahala)menuju Allah dan RasulNya. Barangsiapa niatnya karena dunia (harta atau kemegahan dunia) atau karena seorang wanita yang akan dikawininya maka (nilai) hijrahnya itu adalah (nilai hijrah) kea rah yang ditujunya,”
Kedua, taubatan nasuha. Bahwasannya dengan bertaubat maka akan menyucikan diri dari segala dosa dan itu akan mempercepat terkabulnya segala do’a. Bagaimana do’a kita akan dikabulkan jika saja diri ini penuh dengan dosa dan tidak segera bertaubat.
Ketiga, berusaha mengikuti kegiatan positif seperti kelompok belajar, keorganisasian kampus, keorganisasian agama, atau pengembangan minat dan bakat berupa olahraga serta seni bagi pelajar, dan jikalau sebagai pekerja maka bisa mengikuti kegiatan di sekitar rumah. Tak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan non akademik atau kemasyarakatan lainnya merupakan salah satu benteng yang dapat mencegah hal-hal negativ dari kegiatan-kegiatan lain yang cenderung tidak bermanfaat, foya-foya, bahkan maksiat. Selain itu, pengalaman-pengalaman yang tidak akan didapat dalam bangku sekolah atau keseharian tugas kantor, akan sangat membantu pembentukan diri dan karakter seseorang dalam bermasyarakat dan ini merupakan bekal di masa mendatang. Mengurangi bahkan menghindari perbuatan maksiat akan mempermudah dalam menggapai impian-impian kita. Imam Syafii pernah curhat kepada gurunya Imam Waki’ tentang susahnya mendapatkan ilmu: aku mengadu kepada Imam Waki’I tentang susahnya menghafal atau mendapatkan ilmu. Maka Imam waki’I memberiku petunjuk untuk meninggalkan maksiat dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat. Hal ini berlaku juga untuk kita yang sedang bekerja. Hindarilah yang buruk-buruk maka yang baik akan hadir dengan lebih besar.
Keempat, selalu mengevaluasi diri dengan capaian-capaian yang didapat baik dalam jangka waktu dekat maupun jangka panjang. Hal ini untuk memotivasi agar lebih semangat dalam menjalani perantauan panjang sebagai seorang pelajar maupun pekerja, sejauh manakah perantauan ilmunya telah menghasilkan sesuatu atau yang telah didapat dan seberapa banyakkah capaian yang tertunda bahkan belum terwujud. Apa yang kita hasilkan sebagai pelajar? Sudahkah kita berbagi ilmu dan bermanfaat bagi orang lain atas ilmu kita meski kita masih sedang belajar? Sebagai seorang pekerja, sudahkah berzakat sebagai penyuci harta? Sudahkah sedekah dan berbagai dengan sesama agar harta lebih berkah? Apakah pekerjaan kita halal dan bermanfaat bagi kemashlahatan umat?
Kelima, selalu istiqomah dengan semua yang kegiatan yang dijalani agar memudahkan terwujudnya semua cita-cita. Keenam, bersyukur dengan apa yang dimiliki dan apa yang belum dimiliki. Terakhir, menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan baik sebagai seorang pencari ilmu kepada jibril, maupun sebagai pekerja dengan berdagang Mengembalikan semua urusan dan keputusan kepada Sang Pemilik Hidup, yaitu Allah SWT setelah lelah berjuang.
Maka, perantauan panjang yang penuh lika-liku kehidupan akan berakhir pada satu muara yang indah. Muara dari segala muara, yaitu alam kekal dalam surgaNya karena setiap langkah kita hanya untukNya, hanya demi menggapai ridhoNya dan semua akan terbalaskan dengan kehidupan bahagia baik di dunia maupun akhirat, insya Allah.








[1] Penulis adalah mahasiswa aktif fh uii angkatan 2012 dan pengurus takmir masjid al azhar periode 2014-2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkunjung DI BLOG TAKMIR MASJID AL-AZHAR Fakultas Hukum UII

@Way2themes

Follow Me