Alhamdulillah kita sampai pada bulan Dzulhijah.
Kami dari takmir masjid A-Azhar mengadakan kegiatan dalam menyambut hari raya Idul Adha 1433 Hijriah, antar lain Buka puasa bersama, solat Idul Adha di Masjid Al-Azha Fakultas Hukum UII, dan kegitan penyembelihan dan pembagian hewan kurban. Selain penerimaan Hewan Qurban, Kami Juga sangat membutuhkan Dana Operasional dari para dermawan-dermawati sekalian. Jadi, kami selaku panitia akan sangat berterima kasih apabila kami juga di bantu dalam pengumpulan dana operasionalnya.
Bagi para Dermawan/ti yang telah mengirimkan dana ke REKENING diatas, diharapkan segera langsung menghubungi CP sebagaimana yang tertera di atas/dibawah ini.
Contact Person
Yasin 085743192785
Rekening Donasi BNI Syariah
0234893043
an. Anang Zubaidy
Syariat dan Keutamaannya
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.
Adapun dari Al-Qur`an, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah,
‘Atha`, dan yang lainnya, النَّحْرُ dalam ayat di atas adalah
menyembelih hewan qurban.
Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan:
“Tidak samar lagi bahwa menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman
ayat وَانْحَرْ.”
Juga keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ
فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا
وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ
وَالْمُعْتَرَّ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar
Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan
telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj:
36)
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab Fathur Rabbil Wadud
(1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat
menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata الْبُدْنَ mencakup
semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”
Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda beliau
adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ
نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ
سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ
لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah
shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa
berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan
barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging
yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk
sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)
Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
ضَحَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor
kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan
tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di
sisi leher kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no.
1966, dan lafadz hadits ini milik beliau)
Adapun ijma’ ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Kabir (5/157) -Mughni-,
Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (5/196) dan Asy-Syinqithi
rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470)1.
Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya. Adapun keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berkut:
1. Berqurban merupakan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala surat Al-Hajj ayat 36.
2. Berqurban merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menganjurkan dan melaksanakannya. Maka setiap muslim yang berqurban
seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang mulia ini.
3. Berqurban termasuk ibadah yang paling utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (Al-An’am: 162-163)
Juga firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dua
ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang
merupakan rukun Islam kedua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’
Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar
menguraikan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk
mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih
qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan
hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta
keutamaan-Nya.”
Beliau mengatakan lagi: “Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’am: 162)
Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah
menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah
shalat.”
Hukum Menyembelih Qurban
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih qurban
hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila masuk 10 hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian
hendak menyembelih qurban maka janganlah dia mengambil (memotong) rambut
dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim 1977/39)
Sisi pendalilannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyerahkan ibadah qurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sedangkan
perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapapun. Menyembelih
hewan qurban berubah menjadi wajib karena nadzar, berdasarkan sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah dia
menaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 6696, 6700 dari Aisyah radhiyallahu
‘anha)
Faedah: Atas nama siapakah berqurban itu disunnahkan?
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullahu menjawab: “Disunnahkan dari
orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati. Oleh sebab
itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berqurban atas
nama seorangpun yang telah mati. Tidak untuk istrinya, Khadijah
radhiyallahu ‘anha, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah
radhiyallahu ‘anhu, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk
putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka
adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berqurban atas nama diri dan
keluarganya. Dan barangsiapa yang memasukkan orang yang telah meninggal
pada keumuman (keluarga), maka pendapatnya masih ditoleransi. Namun
berqurban atas nama yang mati di sini statusnya hanya mengikuti, bukan
berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyariatkan berqurban atas nama
orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424
cet. Darul Atsar, lihat pula hal. 389-390)
Berqurban atas nama sang mayit hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:
1. Bila sang mayit pernah bernadzar sebelum wafatnya, maka nadzar tersebut dipenuhi karena termasuk nadzar ketaatan.
2. Bila sang mayit berwasiat sebelum wafatnya, wasiat tersebut dapat
terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang mayit. (Lihat
Syarh Bulughil Maram, 6/87-88 karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu)
Hadits yang menunjukkan kebolehan berqurban atas nama sang mayit
adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2790) dan At-Tirmidzi
(no. 1500) dari jalan Syarik, dari Abul Hasna`, dari Al-Hakam, dari
Hanasy, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dhaif
karena beberapa sebab:
1. Syarik adalah Ibnu Abdillah An-Nakha’i Al-Qadhi, dia dhaif karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai qadhi (hakim).
2. Abul Hasna` majhul (tidak dikenal).
3. Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir Ash-Shan’ani, pada haditsnya ada
kelemahan walau dirinya dinilai shaduq lahu auham (jujur namun punya
beberapa kekeliruan) oleh Al-Hafizh dalam Taqrib-nya. Dan hadits ini
dimasukkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (2/844) sebagai salah satu
kelemahan Hanasy.
Adapun bila ada yang berqurban atas nama sang mayit, maka amalan
tersebut dinilai shadaqah atas nama sang mayit dan masuk pada keumuman
hadits:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ …
“Bila seseorang telah mati maka terputuslah amalannya kecuali dari 3
perkara: shadaqah jariyah….” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Wallahul muwaffiq.
sumber : http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/11/09/qurban-keutamaan-dan-hukumnya/
19 Okt 2012
Idul Adha 1433 Hijriah
About TAKMIR MASJID AL-AZHAR FH UII
Way2themes is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design
Kegiatan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkunjung DI BLOG TAKMIR MASJID AL-AZHAR Fakultas Hukum UII