Kajian Hukum Aleppo
TAKMIR MASJID AL-AZHAR FH UII
Maret 06, 2017
0
Tamansiswa, (28/12) Kajian Aktual
Hukum tentang Kasus Krisis Kemanusiaan di Aleppo ditinjau dari Perspektif Hukum
Internasional dan Hukum HAM Dalam Islam telah selesai diselenggarakan oleh
Takmir Masjid Al-Azhar di Ruang Ts 2.11 Fakultas Hukum UII pada pukul 09.30
hingga pukul 12.00 WIB. Latarbelakang diselenggarakan acara ini adalah untuk
merevitalisasi budaya diskusi di kalangan civitas akademika Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia dimana dalam hal ini kasus Aleppo penting untuk didiskusikan
karena telah terjadi krisis kemanusiaan di tanah Suriah yang tidak sesuai
dengan tujuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Alenia IV UUD NRI
1945 bahwa ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karena itu, sebagai warga negara
yang baik tentu civitas akademika fakultas hukum memiliki tanggung jawab moral
untuk turut serta mendorong terwujudnya tujuan Negara tersebut yang diawali
dengan diskusi-diskusi tentang permasalahan internasional seperti halnya kasus
krisis kemanusiaan di Aleppo ini.
Acara ini diawali dengan kalam
illahi oleh saudara Salman Al- Farisi dilanjutkan dengan pembukaan secara resmi
oleh Bapak Syarif Nur Hidayat S.H., M.H Pada
kesempatan kali ini kajian di moderatori oleh Nabila Rani Hanifa yang
dilanjutkan dengan penyampain materi pada sesi pertama oleh Bapak Eko Riyadi
S.H., M.H. yang mengulas kasus Aleppo dari perspektif Hukum HAM Dalam Islam.
Pemaparan beliau diawali dengan
pembahasan Hadist Nabi tentang Ijtihad. Saat itu Nabi Muhammad SAW mengutus Mu’ad
bin Jabal menjadi hakim di wilayah Syam yang sekarang termasuk Irak, Iran, dan
Suriah. Negeri yang dari dulu sudah sangat terkenal dan daerah yang mengenal
konsep Tuhan pertama. Wilayah Syam memiliki teologi kehidupan dan Ilmu
Pengertahuan, berbeda dengan Mesir yang dianggap memiliki teologi kematian
karena memuja kematian. Wilayah Syam adalah wilayah yang sangat besar sejak
masa lalu bahkan sebelum Yunani dan wilayah Eropa.
Selanjutnya Bapak Eko Riyadi
menyampaikan bahwa peperangan yang terjadi di Suriah bukanlah peperangan orang
Suriah. Diawali dengan peristiwa turunnya Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh
yang otortiter, disebabkan oleh demo besar-besaran karena terdapat pedagang
buah yang buah-buahannya diangkut oleh pemerintah sehingga membuat pedagang
tersebut membakar diri di depan Kantor Wali Kota Pemerintahan. Awalnya
pemberontakan hanya terjadi di Yaman, namun kemudian merembet ke seluruh
semenanjung Arab dari Husni Mubarok yang diturunkan, kemudian Presiden Libya,
Muammar Gaddafi akhirnya juga jatuh. Isu yang dijunjung terjadi nya arab spring
adalah anti otoriterianisme. Harus diketahui bahwa permasalahan “Sunni vs
Syiah” adalah konteks politik dijaman Khalifah Ali sehingga kita tidak perlu
ikut campur terhadap peristiwa itu.
Dalam krisis kemanusiaan ini, perempuan dan anak paling banyak menjadi
korban. Pelanggaran terhadap hukum humaniter, kejahatan genosida banyak terjadi
karena banyak suku beragama Kristen katolik diperbukitan tertentu dihabisi.
Sekarang hukum pengungsi sedang mengalami tantangan berat, dimana beberapa
Negara di Eropa “kena getahnya” dan yang sedang berkembang di wilayah adalah
untuk mensterilkan wilayahnya dari orang islam (anti islam) . Peran PBB dalam
kasus-kasus di semenanjung Arab dengan berkali-kali membuat resolusi untuk Suriah
tapi selalu di veto oleh Rusia. Perlu dipertanyakan selama ini OKI sebagai
organisasi yang mewadahi negara-negara islam yang peranannya tidak pernah
terlihat karena OKI adalah organisasi yang berbasis kerjasama bukan organisasi
seperti PBB yang mempunyai kewenangan untuk membuat dokumen hukum. OKI sendiri
memiliki lembaga yang mengurusi HAM, namun hanya fokus pada
penyuluhan-penyuluhan saja. PBB dalam hal ini harus segera mengambil keputusan
antara intervensi bersenjata atau menjadi daerah perwalian sementara dengan
cara seluruh pasukan perang negara lain ditarik diganti dengan pasukan
perdamaian PBB dan harus dibuka akses lembaga kemanusiaan seluas-luasnya.
Selanjutnya, dari perspektif Hukum
Internasional disampaikan oleh Prof. Jawahir Thantowi, S.H., Ph.D yang menyebut
bahwa kasus yang sedang dibahas adalah Nomaden Waar vs Insurgency dalam Hukum
Internasional. Ciri di Suriah adalah pemberontakan yang berkelanjutan dimana
cara pemerintahan pusat untuk melakukan peperangan adalah berpindah-pindah
sehingga disebut Nomaden Waar. Perang Saudara di Suriah diawali dan didukung
oleh Rentetan Arab Spring yang terjadi di Dunia Arab dimana yang diinginkan
adalah lepasnya pemerintahan otoriterianisme menjadi demokratis , namun justru
berujung pada kekerasan bersenjata. Sikap Indonesia terhadap kasus Aleppo ini
cenderung dingin karena menganggap kasus tersebut sbg perang saudara. Padahal
perang saudara terjadi karena ada kepentingan asing yang masuk untuk
memperebutkan minyak dan gas alam. Pihak asing yang melakukan intervensi
diantaranya adalah Amerika Serikat dan Rusia. Sangat disayangkan sikap
Inodensia dalam kasus ini karena apabila Indonesia tanggap maka Negara dapat
berperan dengan melakukan Humanitarian
Assistance yaitu bantuan kemanusiaan seperti bantuan bersifat medis, namun
saat ini yang bergerak bukan Negara
tetapi justru LSM-LSM atau lembaga independen non pemerintahan.
Kajian ini diakhiri dengan sesi
tanya jawab oleh tiga penanya yaitu Bagus, Erna, dan Silvi yang langsung
dijawab oleh kedua pembicara secara bergantian. Selanjurnya rangkaian acara
ditutup dengan penyerahan cindera mata kepada kedua pembicara. Besar harapan
penyelenggara bahwa kajian ini dapat bermanfaat untuk civitas akademika
Fakultaas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Penulis
Aisyah Syifa Suwita